Kreativitas dan Desain
Kreativitas dapat dilihat bukan hanya sebagai kemampuan berpikir secara bercabang, tetapi lebih merupakan keseimbangan antara kemampuan berpikir secara lurus dan bercabang sesuai dengan situasi. Ilmuwan yang benar-benar kreatifmemerlukan sebagian dari pemikiran bercabang khas seniman agar dapat melihat kemungkinan-kemungkinan baru. Sedangkan seniman sendiri harus bisa menerapkan ketunggalan pikiran yang pantang menyerah milik ilmuwan agar dapat mengembangkan gagasannya. Desain menjadi tugas yang amat menantang secara psikologis dikarenakan adanya keseimbangan yang sangat tepat antara dua perangkat keahlian mental yang dibutuhkan untuk menghasilkan kreatif ini. Sebagai pedoman kasar saja, makin penting batasan yang dibuat oleh desainer, maka desainer mungkin akan makin perlu menggunakan keahlian pemikiran bercabang. Seperti masalah desain yang bervariasi, begitu pula halnya keahlian dan kemampuan desainer. Beberapa desainer memilih masalah jenis terbuka dan bebas di mana hanya sedikit batasan yang diberlakukan dan imajinasi bisa lepas sesukanya. Sedangkan desainer lain lebih nyaman dengan masalah yang batasannya lebih ketat. Penting bagi desainer untuk mengenali sifat masalah serta menggunakan nalar dan imajinasi, pemikiran lurus atau bercabang dalam dosis yang tepat.
Walau dosis yang tepat tidak selalu dapat duputuskan dengan mudah, tetapi melalui praktik biasanya desainer berpengalaman dapat merasai situasi dengan baik. Namun, seorang pemula mungkin harus menganalisis masalah dengan lebih mawas diri: model yang dibangun dimaksudkan untuk membantu proses ini. Meskipun kreativitas seharusnya tidak diasosiasikan semat-mata dengan pemikiran bercabang, kerja kreatif selalu tergantung dari setidaknya satu letikan imajinasi yang menyala-nyala. Maka mungkin lebih baik bagi desainer untuk menggunakan pemikiran bercabang secara berlebihan daripada secara terlalu hemat. Bagi kebanyakn orang lebih mudah berpikir secara lurus dibanding secara bercabang bila disuruh. Nalar lebih mudah dikendalikan dibanding imajinasi, dan hasil dari pikiran imajinatif yang bebas nantinya dapat dengan mudah dievaluasi dengan rasional. Teknik-teknik merangsang pemikiran bercabang yang imajinatif.
Beberapa diskusi tentang pengalaman dan kreativitas di sini menimbulkan pertanyaan yang sulit mengenai pengembangan kreativitas dalam pendidikan desain. Karena pengalaman dapat dengan mudah menimbulkan efek mekanisasi pikiran dan membatasi gagasan, haruskah mahasiswa desain mengetahui splusi yang ada dan hasil karya desainer lain? Misalnya, tepatkah jika mahasiswa arsitektur yang sedang mengerjakan proyek perumahan pertama-tama harus mempelajari tipe rumah yang sudah jadi dan pengaturan tata letak situs? Pastinya akan ada konplik sudut pandang dalam masalah ini. Jrlas akan ada yang berargumen bahwa konsentrasi pada solusi sebelumnya akan sangat menghambat gagasan mahasiswa. Pihak lain akan menunjukkan adanya kesalahan nyata yang akan dibuat mahasiswa jika tidak ada studi semacam itu. Tetapi argumen ini terkadang dibals dengan mendapat bahwa dari keslahan kita sendiri kita akan mendapat pelajaran yang dampaknya lebih panjang dan lebih bermakna dibanding bila mempelajari model jawaban. Barngakali pada akhirnya sebagaian besar jawaban tergantung dari pandangan kita tentang peran dari karya proyek mahasiswa. Apakah kita memberikan masalah desain pada mahasiswa agar mereka dapat belajar tentang desain atau untuk mendemontrasikan kemampuan mereka dalam desain? Isu ini pun diselimuti kabut, sebab dalam kebanyakan pelajaran desain kerja proyek bukan hanya merupakan bagian sentral dari pendidikan, tetapi juga hadir sebagai unsur utama dari penilaian.
Laxton (1969) dalam sebuah diskusi mengenai pendidikan desain di sekolah mengusulkan bahwa anak-anak tidak dapat menjadi kreatif tanpa adanya “waduk” pengalaman. Ia memakai analogi berupa PLTA untuk menjelaskan model tiga tahap miliknya dari keahlian yang diajarkan dalam kelas desain. Keahlian pertama menurut Laxton, kemampuan memulai atau mengekpresikan, diklaim olehnya tergantung dari waduk tempat kita menimba gagasan. Laxton berargumen bahwa baru belakangan mahasiswa akan memiliki daya untuk mengevaluasi dan membedakan antara gagasan-gagasan ini. Penafsiran adalah keahlian ketiga dan terakhir dalam model Laxton, dan beranalogi dengan tahap transformasi pada PLTA, di mana gagasan diterjemahkan menjadi wujud dan konteks yang sesuai. Karenanya bagi Laxton kreativitas dalam desain ditingkatkan dengan pertama-tama berkonsentrasi pada pemenuhan waduk dengan suplai gagasan. Hal ini sangat sejalan dengan ahli psikologis yang menulis tentang kreativitas. Kneller (1965) sampai mengatakan: “Salah satu pardoks dalam kreativitas ialah bahwa, agar dapat berpikir secara orisinil, kita harus negakrabkan diri dengan gagasan orang lain... Gagasan-gagasan ini kemudian dapat membentuk papan pegas tempat gagasan si pencipta akan diluncurkan.”[]
0 komentar:
Posting Komentar